Komisi Transparansi Indonesia: KOMPARSI
Indonesia adalah sebuah Negara yang
sudah mempunyai budaya korupsi yang telah mendara daging yang sangat sulit
dilhindari dan dicega berbagai aspek, budaya ini sudah mucul 100 san tahun
sejak Indonesia belum merdeka samapai sekarang, kalau kita lihat dari sejarah
panjang Indonesia adalah sebuah Negara yang terjajah dan terexpolitasi dari
semua aspek sehingga hal ini menjadi factor utama bagi Indonesia sulit untuk
menghindari ranah korupsi kolusi dan nepotisme, Korupsi lahir di tengah situasi
dimana budaya krabat dan turunan politik
mendominasi dalam pembuatan kebijakan publik di satu sisi dan tiadanya public
accountability sebagai mekanisme pertanggungjawaban kekuasaan di sisi yang
lain. Kondisi ini diperparah dengan sempitnya ruang partisipasi politik karena
tidak adanya peluang dalam sistem politik yang dapat digunakan untuk meminta
pertanggungjawaban wakil rakyat di parlemen. Tali mandat antara pemilih dengan
wakilnya di parlemen terputus karena para wakil rakyat yang dipilih melalui
mekanisme pemilu justru mengabdi pada kepentingan partai politik dan kelompok
kepentingan yang menjadi cukong politiknya, daripada menyuarakan kepentingan
rakyat.
Realitas oligharki elit politik kian korup karena ditopang oleh struktur sosial
paternalistik dan patriarkhis yang melahirkan ketidakberdayaan rakyat dalam
mengontrol pemerintahan. Sebaliknya, kesadaran politik rakyat dikontrol oleh
tokoh-tokoh yang sebagian besar adalah perpanjangan tangan kekuasaan.
Perselingkuhan elit masyarakat dengan penguasa menyebabkan tiadanya peluang
bagi rakyat untuk dapat mendesakkan kepentingannya.
Lemahnya kontrol publik memiliki dampak yang sangat luas terutama pada usaha
reformasi birokrasi pemerintahan. Korupsi berkembang subur di birokrasi,
terutama yang menjadi ujung tombak pelayanan mendasar kebutuhan publik seperti
pendidikan, kesehatan, air minum, dan listrik. Dengan pelayanan yang buruk,
publik harus membayar mahal. Kekuasaan politik tidak memiliki prioritas untuk
membuat perubahan di birokrasi dan memperbaiki pelayanan kebutuhan dasar yang
menjadi hak rakyat. Birokrasi justru menjadi mesin keuangan politik bagi
kekuatan oligharki yang berkuasa.
Korupsi kian mencemaskan setelah
implementasi Otonomi Daerah. Arah desentralisasi yang membawa semangat keadilan
distributif sumber-sumber negara yang selama 32 tahun dikuasai secara otoriter
oleh pemerintah pusat kini justru menjadi ajang distribusi korupsi dimana aktor
dan areal korupsi kian meluas. Praktek korupsi tidak lagi terorganisir dan
terpusat, tetapi sudah terfragmentasi seiring dengan munculnya pusat-pusat
kekuasaan baru.
Hukum yang seharusnya memberikan
jaminan terwujudnya keadilan dan penegakan aturan juga tak luput dari ganasnya
korupsi. Mafia peradilan kian merajalela dan lembaga peradilan tak ubah laksana
lembaga lelang perkara yang membuat buncit perut aparat penegak hukum busuk.
Rasa keadilan digadaikan oleh praktek suap menyuap. Intervensi politik terhadap
proses hukum menyebabkan lembaga peradilan hanya menjadi komoditas politik
kekuasaan. Tidak ada kasus korupsi yang benar-benar divonis setimpal dengan
perbuatannya. Dengan kekuasaan uang dan perlindungan politik, koruptor dapat
menghirup udara bebas tanpa perlu takut dijerat hukum.
Tidak sedikitpun terlihat ada kemauan
politik (will) dari pemerintah untuk memberantas praktek mega korupsi. Krisis
ekonomi yang dituding banyak pihak merupakan akibat dari praktek korupsi tidak
dijadikan pelajaran. Konglomerat akbar yang melakukan kejahatan ekonomi justru
diproteksi. Utang bernilai triliunan yang seharusnya mereka bayar dibebankan
kepada pemerintah yang memicu hilangnya mekanisme jaring pengaman sosial
seperti penghapusan subsidi pendidikan, kesehatan, pupuk dan BBM. Korupsi telah
menyebabkan kemiskinan struktural yang kronis.
Korupsi membuat mekanisme pasar tidak
berjalan. Proteksi, monopoli dan oligopoli menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan
distorsi pada distribusi barang/jasa, dimana pengusaha yang mampu berkolaborasi
dengan elit politik mendapat akses, konsesi dan kontrak-kontrak ekonomi dengan
keuntungan besar. Persaingan usaha yang harus dimenangkan dengan praktek suap
menyuap mengakibatkan biaya produksi membengkak. Ongkos buruh ditekan serendah
mungkin sebagai kompensasi biaya korupsi yang sudah dikeluarkan pelaku ekonomi.
Busuknya sektor pemerintah dan sektor
swasta karena korupsi hanya melahirkan kemiskinan, kebodohan dan
ketidakberdayaan rakyat banyak. Korupsi yang terjadi karena perselingkuhan
kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi membuat semakin lebarnya jurang
kesejahteraan. Karena itulah KOMPARSI percaya bahwa pemberantasan korupsi akan
berjalan efektif jika ada pelibatan yang luas dari rakyat sebagai korbannya.
KOMPARSI mengambil posisi untuk bersama-sama rakyat membangun gerakan sosial
memberantas korupsi dan berupaya mengimbangi persekongkolan kekuatan birokrasi
pemerintah dan bisnis. Dengan demikian reformasi di bidang hukum, politik,
ekonomi dan sosial untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang demokratis
dan berkeadilan sosial dapat diwujudkan.
KOMPARSI adalah lembaga nirlaba yang terdiri
dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui
usaha-usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat/berpartisipasi aktif melakukan
perlawanan terhadap praktek korupsi. KOMPARSI lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2000 di tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca
Soeharto yang demokratis, bersih dan bebas korupsi.
Visi KOMISI TRANSPARANSI IINDONESIA (KOMPARSI) :
Menguatnya posisi tawar rakyat untuk
mengontrol negara dan turut serta dalam keputusan untuk mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang demokratis, bebas dari korupsi, berkeadilan ekonomi, sosial,
serta jender.
Misi
KOMISI TRANSPARANSI IINDONESIA:
adalah memberdayakan rakyat dalam:
- Memperjuangkan
terwujudnya sistem politik, hukum, ekonomi dan birokrasi yang bersih dari
korupsi dan berlandaskan keadilan sosial dan jender.
- Memperkuat
partisipasi rakyat dalam proses pengambilan dan pengawasan kebijakan
publik.
Dalam menjalankan misi tersebut, KOMPARSI
mengambil peran sebagai berikut:
- Memfasilitasi
penyadaran dan pengorganisasian rakyat dibidang hak-hak warganegara dan
pelayanan publik.
- Memfasilitasi
penguatan kapasitas rakyat dalam proses pengambilan dan pengawasan
kebijakan publik.
- Mendorong
inisiatif rakyat untuk membongkar kasus-kasus korupsi yang terjadi dan
melaporkan pelakunya kepada penegak hukum serta ke masyarakat luas untuk
diadili dan mendapatkan sanksi sosial.
- Memfasilitasi
peningkatan kapasitas rakyat dalam penyelidikan dan pengawasan korupsi.
- Menggalang
kampanye publik guna mendesakkan reformasi hukum, politik dan birokrasi
yang kondusif bagi pemberantasan korupsi.
- Memfasilitasi
penguatan good governance di masyarakat sipil dan penegakan standar etika
di kalangan profesi.
Berpihak kepada masyarakat yang miskin
secara ekonomi, politik dan budaya. Nilai :
1.
Keadilan
sosial dan kesetaraan jender :
Setiap laki-laki dan
perempuan memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk berperan aktif dalam
pemberantasan korupsi, memiliki hak dan peluang yang sama di dalam lembaga
maupun dalam kaitannya dengan kesempatan yang sama untuk mengakses dan
mengontrol sumber daya lembaga.
2. Demokratis:
Setiap individu, baik laki-laki maupun
perempuan dalam setiap pengambilan keputusan, perilaku dan pikiran, wajib
menjunjung nilai demokrasi.
3. Kejujuran.
Setiap individu, baik laki-laki maupun
perempuan wajib membeberkan setiap kepentingan pribadi yang berhubungan dengan
kewajibannya serta mengambil langkah-langkah untuk mengatasi benturan
kepentingannya yang mungkin timbul.
Prinsip KOMPARSI :
1. Integritas
- Setiap
individu tidak pernah melakukan kejahatan pidana, politik, ekonomi dan hak
asasi manusia.
- Setiap
individu tidak pernah membela atau melindungi koruptor.
- Setiap
individu tidak boleh menempatkan dirinya di bawah kepentingan finansial
atau kewajiban lainnya dari pihak luar, baik individu maupun organisasi
yang dapat mempengaruhinya dalam menjalankan tugas-tugas dan misi KOMPARSI
2.Akuntabilitas.
Setiap individu harus bertanggungjawab atas keputusan dan tindakan-tindakannya
kepada rakyat dan harus tunduk pada pemeriksaan publik terhadap seluruh
aktivitas di KOMPARSI
3. Independen.
- Setiap
individu tidak menjadi anggota ataupun pengurus salah satu partai politik.
- Setiap
individu bertindak objektif dalam menghadapi pejabat negara ataupun
kelompok kepentingan tertentu.
- Setiap
individu tidak boleh membuat keputusan dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan finansial atau materi bagi dirinya sendiri, keluarga dan sahabat-sahabatnya.
4. Obyektivitas dan kerahasiaan.
- Setiap
individu dalam mengambil keputusan dan tindakan harus semata-mata
berdasarkan pertimbangan kebenaran dan keadilan.
- Setiap
individu wajib merahasiakan para identitas saksi dan pelapor kasus korupsi
yang melaporkan kasus korupsi ke KOMPARSI.
5.Anti-Diskriminasi.KOMPARSI
Dalam melaksanakan tugas pemberantasan
korupsi, hak dan kewajiban di lembaga, setiap individu tidak melakukan
diskriminasi baik berdasarkan agama, ras atau golongan.