SELAMAT DATANG DI WEBSITE KOMISI TRANSPARANSI INDONESIA DAN SELAMAT BERGABUNG UNTUK MELAWAN SINDIKASI KORUPSI BERSAMA KOMISI TRANSPARANSI INDONESIA

Monday, April 27, 2015

KORUPSI DI KABUPATEN MUSI BANYUASIN

                                 
Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Edi Handojo berjanji seusai Hari Raya Idhul Fitri 2015 ini akan membongkar tindak pidana korupsi (Tipikor) diwilayah kerjanya. Yang jelas sejumlah kasus tindak pidana korupsi yang ditangani Kejari akan ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Janji Kejari Sekayu, Edi Handojo itu diungkapkannya kepada wartawan,lsm di Sekayu, kemarin. Namun ia belum bersedia menyebutkan secara rinci kasus tindak pidana korupsi apa saja yang ditanganinya. Pokoknya lihat saja nanti, pasti kita umumkan kepada publik.

Menurutnya, jajaran Kejari Sekayu yang dipimpinnya akan berusaha terus untuk membongkar kasus Tipikor diwilayah kerjanya, sebagai upaya kita untuk mengembalikan kerugian negara didaerah ini, misalnya kasus penyelahgunaan hibah dana untuk organisasi ICMI Kabupaten Muba serta kasus pengadaan barang dilingkungan Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin.

Kami akan terus selidiki kebocoran uang negara yang terjadi diwilayah Kabupaten musi banyu asin ini, "masyarakat ikut berperan aktif memberantas korupsi yang terjadi dengan cara melaporkan atau menginformasikan kepada Kajari, agar uang negara yang dikorupsi dapat dikembalikan untuk digunakan bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat diwilayah Kabupaten Musi Banyuasin ini,"harafnya.

Sementara Bupati Musi Banyuasin, H. Pahri Azhari, mengatakan sangat mendukung Kejari Sekayu dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaku penyalah gunaan pengunaan uang negara sesuai aturan yang berlaku termasuk melakukan pemeriksaan terhadap penggunaan alokasi danan desa (ADD) sebesar Rp. 1 miliar setiap desa/kelurahan diwilayahnya.

Menurut Pahri, Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Saturday, April 18, 2015

KORUPSI ALKES BANDAR LAMPUNG


BANDAR LAMPUNG: Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Lampung Reihana diperiksa Kejaksaan Tinggi Lampung terkait dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan tahun 2012 senilai Rp15,5 miliar.

Reihana hari ini memang diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk perkara korupsi alat kesehatan, dan penyidik ingin mendalami tentang dana perbantuan dari pemerintah pusat," kata Kasi Penerangan dan Hukum (Penkum) Kejati Lampung Heru Widjatmiko, di Bandarlampung, Kamis.

Dia mengatakan, dalam penyidikan terdapat dana bantuan dari Provinsi Lampung, dan Reihana diperiksa untuk mengetahui mekanisme pemberian dana tersebut.
Ia melanjutkan, penyidikan terhadap perkara ini terus berlanjut meskipun telah menetapkan tersangka, mengingat tidak menutup kemungkinan ada tersangka lain dalam kasus ini.

Perkara korupsi biasanya tidak hanya melibatkan satu orang, bisa dua hingga empat orang," kata dia lagi.

Pihak Kejati Lampung telah mendatangi RSUD A Dadi Tjockrodipo Bandarlampung untuk melakukan penyitaan barang alat kesehatan yang merupakan objek perkara.
"Penyidik melakukan penyitaan terhadap seluruh barang alat kesehatan dan terdapat 44 item barang yang disita," ujarnya pula.

Seluruh barang tersebut masih dititipkan di rumah sakit dan statusnya pinjam pakai terhadap alat kesehatan tersebut.

Heru mengungkapkan bahwa pihaknya masih terus mendalami perkara yang telah menyita perhatian masyarakat Provinsi Lampung, terlebih perkara yang sama dengan tersangka dr Wirman, mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandarlampung telah masuk persidangan.

Saturday, March 14, 2015

KOMPARSI

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Wali Kota Palembang, Romi Herton sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penanganan sengketa pilkada Kota Palembang, Senin 16 Juni 2014. Kasus ini merupakan pengembangan kasus penanganan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi dengan tersangka Akil Mochtar.

"Setelah gelar perkara, disimpulkan bahwa RH selaku Wali Kota Palembang, kemudian M telah ditetapkan jadi tersangka," kata Johan. M diketahui merupakan Masyito adalah istri dari Romi Herton.

Menurut Johan, penetapan Romi Herton sebagai tersangka juga setelah penyidik mendengarkan sejumlah keterangan di persidangan dengan terdakwa Akil Mochtar.

Keduanya disangkakan pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang nomor 20 tahun 2001, juncto pasal 64 ayat 1 juncto pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Selain itu keduanya juga diduga melanggar pasal 22 juncto pasal 35 ayat 1 Undang-Undang 20 tahun 2001.

"Sprindik dikeluarkan sejak tanggal 10 juni 2014," kata Johan

Bantahan Romi
Sebelumnya Wali Kota Palembang, Romi Herton telah membantah memberi suap Rp20 miliar kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, terkait sengketa Pilkada Kota Palembang.

Bantahan itu disampaikan Romi saat menanggapi berkas dakwaan Akil Mochtar yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis 20 Februari 2014. Dalam dakwaan, Romi disebut memberi suap kepada Akil untuk mengabulkan gugatan Pilkada Kota Palembang.

Romi mengatakan, jika memang dia terbukti sebagai salah satu penyuap Akil, pasti sudah ditangkap.

"Hebatnya Atut bagaimana coba? Tapi dia masih bisa ditangkap. Itu fitnah untuk saya. Tolonglah asas praduga tidak bersalah. Itu kan baru dugaan, masak kami dibulan-bulanin?" kata Romi.

Romi mengaku siap jika memang diperlukan untuk memberi kesaksian di pengadilan. "Saya sudah diperiksa KPK, rumah saya sudah digeledah. Keterangan juga sudah saya berikan. Jika dipanggil lagi, untuk jadi saksi di persidangan, saya siap," kata dia.

Wednesday, October 8, 2014

Kepala daerah terjerat korupsi


Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat hingga Januari 2014 sebanyak 318 orang dari total 524 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut dengan kasus korupsi. Untuk itu harus ada perbaikan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diadakan pada 2015 atau setelah pelaksanaan pemilihan umum legislatif 9 April 2014 serta pemilihan presiden 9 Juli 2014.

”Kepala daerah yang ditetapkan tersangka oleh kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjumlah 318 orang di Indonesia sejak diterapkan pilkada langsung digelar,” ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri Djohermansyah Djohan

Menurut dia, Kemendagri sedang mendorong untuk menata ulang pilkada yang baru. Pemerintah bersama DPR sedang berupaya memperbaiki kebijakan dan jangan seperti model sekarang ini dimana seorang kepala daerah bisa masuk penjara. ”Kalau seperti model sekarang, apa hasilnya? Sistem pilkada sekarang ini membuat seorang kepala daerah masuk penjara ya kan? Untuk itu, kita sebagai pemerintah sekarang sedang membuat undang-undang baru yang mengatur pilkada bersama DPR,” kata Djohan.

Terkait dengan sanksi bagi partai politik (parpol) yang mengusung seorang kepala daerah, dia menegaskan, hal tersebut sama sekali tidak memiliki hubungan. ”Itu tidak ada urusan sama parpol. Kepala daerahnya kan terpilih dan ia melakukan tindak pidana korupsi, itu menjadi tanggung jawab dia. Kenapa parpol dibawa-bawa? Artinya citra parpol bisa turun di mata masyarakat,” tandasnya. Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan, sekitar 70 persen kepala daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi.

Data tersebut diambilnya dari Kemendagri sejak 2004 hingga Februari 2013. Berdasarkan data tersebut, sedikitnya 291 kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota terlibat dalam kasus korupsi. “Ini data dari Kemendagri. Saya pikir ini adalah data yang valid. Dan memang, kita harus melakukan pembenahan serius jika tidak ingin pemimpin-pemimpin yang korup lahir dari ajang Pilkada,” paparnya.

Dijelaskannya, jumlah itu terdiri dari keterlibatan gubernur sebanyak 21 orang, wakil gubernur tujuh orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, wali kota 41 orang, dan wakil wali kota 20 orang. Ia menyebutkan tercatat juga 1.221 nama pegawai pemerintah yang terlibat dalam kasus korupsi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 877-nya sudah menjadi terpidana. Sementara 185 orang lainnya sudah berstatus tersangka, sedangkan 112 orang lainnya sudah terdakwa, dan 44 nama tersisa masih dimintai keterangannya sebagai saksi. Sehingga, menurut Denny, tren korupsi yang ada saat ini harus diimbangi dengan alat pemberantasan korupsi yang juga cukup baik. Dirinya pun mengatakan bahwa keberadaan KPK saat ini sudah sangat tepat dan diperlukan.

“Dulu saat KPK belum ada, koruptor itu banyak sekali. Jadi, ibarat nelayan mau menangkap ikan tapi alatnya masih lemah, sehingga saat menjaring hanya sedikit,” ucap Denny. Sementara itu, dalam pergelaran pemilihan kepala daerah, Denny mengatakan bahwa hal ini bisa menjadi acuan bagi seluruh pihak terkait, baik kandidat, penyelenggara, maupun masyarakat sebagai pemilih.

Bagi kandidat, kata Denny, hal ini bisa diartikan bahwa jabatan bukanlah menjadi sarana untuk mencari untung. “Dan memang tidak bisa dipungkiri, bahwa banyak orang yang mencari jabatan publik untuk mengejar kekayaan dan ketenaran. Tapi harus disadari juga bahwa pejabat ini merupakan pelayan masyarakat,” katanya.
Komisi transparansi indonesia (komparsi) 

Tuesday, July 22, 2014

Komisi Transparansi Indonesia

Komisi Transparansi Indonesia: KOMPARSI

Indonesia adalah sebuah Negara yang sudah mempunyai budaya korupsi yang telah mendara daging yang sangat sulit dilhindari dan dicega berbagai aspek, budaya ini sudah mucul 100 san tahun sejak Indonesia belum merdeka samapai sekarang, kalau kita lihat dari sejarah panjang Indonesia adalah sebuah Negara yang terjajah dan terexpolitasi dari semua aspek sehingga hal ini menjadi factor utama bagi Indonesia sulit untuk menghindari ranah korupsi kolusi dan nepotisme, Korupsi lahir di tengah situasi dimana budaya krabat dan turunan  politik mendominasi dalam pembuatan kebijakan publik di satu sisi dan tiadanya public accountability sebagai mekanisme pertanggungjawaban kekuasaan di sisi yang lain. Kondisi ini diperparah dengan sempitnya ruang partisipasi politik karena tidak adanya peluang dalam sistem politik yang dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban wakil rakyat di parlemen. Tali mandat antara pemilih dengan wakilnya di parlemen terputus karena para wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme pemilu justru mengabdi pada kepentingan partai politik dan kelompok kepentingan yang menjadi cukong politiknya, daripada menyuarakan kepentingan rakyat.

Realitas oligharki elit politik kian korup karena ditopang oleh struktur sosial paternalistik dan patriarkhis yang melahirkan ketidakberdayaan rakyat dalam mengontrol pemerintahan. Sebaliknya, kesadaran politik rakyat dikontrol oleh tokoh-tokoh yang sebagian besar adalah perpanjangan tangan kekuasaan. Perselingkuhan elit masyarakat dengan penguasa menyebabkan tiadanya peluang bagi rakyat untuk dapat mendesakkan kepentingannya.

Lemahnya kontrol publik memiliki dampak yang sangat luas terutama pada usaha reformasi birokrasi pemerintahan. Korupsi berkembang subur di birokrasi, terutama yang menjadi ujung tombak pelayanan mendasar kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, air minum, dan listrik. Dengan pelayanan yang buruk, publik harus membayar mahal. Kekuasaan politik tidak memiliki prioritas untuk membuat perubahan di birokrasi dan memperbaiki pelayanan kebutuhan dasar yang menjadi hak rakyat. Birokrasi justru menjadi mesin keuangan politik bagi kekuatan oligharki yang berkuasa.
Korupsi kian mencemaskan setelah implementasi Otonomi Daerah. Arah desentralisasi yang membawa semangat keadilan distributif sumber-sumber negara yang selama 32 tahun dikuasai secara otoriter oleh pemerintah pusat kini justru menjadi ajang distribusi korupsi dimana aktor dan areal korupsi kian meluas. Praktek korupsi tidak lagi terorganisir dan terpusat, tetapi sudah terfragmentasi seiring dengan munculnya pusat-pusat kekuasaan baru. 

Hukum yang seharusnya memberikan jaminan terwujudnya keadilan dan penegakan aturan juga tak luput dari ganasnya korupsi. Mafia peradilan kian merajalela dan lembaga peradilan tak ubah laksana lembaga lelang perkara yang membuat buncit perut aparat penegak hukum busuk. Rasa keadilan digadaikan oleh praktek suap menyuap. Intervensi politik terhadap proses hukum menyebabkan lembaga peradilan hanya menjadi komoditas politik kekuasaan. Tidak ada kasus korupsi yang benar-benar divonis setimpal dengan perbuatannya. Dengan kekuasaan uang dan perlindungan politik, koruptor dapat menghirup udara bebas tanpa perlu takut dijerat hukum. 

Tidak sedikitpun terlihat ada kemauan politik (will) dari pemerintah untuk memberantas praktek mega korupsi. Krisis ekonomi yang dituding banyak pihak merupakan akibat dari praktek korupsi tidak dijadikan pelajaran. Konglomerat akbar yang melakukan kejahatan ekonomi justru diproteksi. Utang bernilai triliunan yang seharusnya mereka bayar dibebankan kepada pemerintah yang memicu hilangnya mekanisme jaring pengaman sosial seperti penghapusan subsidi pendidikan, kesehatan, pupuk dan BBM. Korupsi telah menyebabkan kemiskinan struktural yang kronis. 

Korupsi membuat mekanisme pasar tidak berjalan. Proteksi, monopoli dan oligopoli menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan distorsi pada distribusi barang/jasa, dimana pengusaha yang mampu berkolaborasi dengan elit politik mendapat akses, konsesi dan kontrak-kontrak ekonomi dengan keuntungan besar. Persaingan usaha yang harus dimenangkan dengan praktek suap menyuap mengakibatkan biaya produksi membengkak. Ongkos buruh ditekan serendah mungkin sebagai kompensasi biaya korupsi yang sudah dikeluarkan pelaku ekonomi.

Busuknya sektor pemerintah dan sektor swasta karena korupsi hanya melahirkan kemiskinan, kebodohan dan ketidakberdayaan rakyat banyak. Korupsi yang terjadi karena perselingkuhan kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi membuat semakin lebarnya jurang kesejahteraan. Karena itulah KOMPARSI percaya bahwa pemberantasan korupsi akan berjalan efektif jika ada pelibatan yang luas dari rakyat sebagai korbannya. KOMPARSI mengambil posisi untuk bersama-sama rakyat membangun gerakan sosial memberantas korupsi dan berupaya mengimbangi persekongkolan kekuatan birokrasi pemerintah dan bisnis. Dengan demikian reformasi di bidang hukum, politik, ekonomi dan sosial untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan sosial dapat diwujudkan. 

KOMPARSI adalah lembaga nirlaba yang terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha-usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat/berpartisipasi aktif melakukan perlawanan terhadap praktek korupsi. KOMPARSI lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2000 di tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang demokratis, bersih dan bebas korupsi. 

Visi KOMISI TRANSPARANSI IINDONESIA (KOMPARSI) :
Menguatnya posisi tawar rakyat untuk mengontrol negara dan turut serta dalam keputusan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis, bebas dari korupsi, berkeadilan ekonomi, sosial, serta jender.


Misi KOMISI TRANSPARANSI IINDONESIA:
adalah memberdayakan rakyat dalam:
  1. Memperjuangkan terwujudnya sistem politik, hukum, ekonomi dan birokrasi yang bersih dari korupsi dan berlandaskan keadilan sosial dan jender.
  2. Memperkuat partisipasi rakyat dalam proses pengambilan dan pengawasan kebijakan publik.
Dalam menjalankan misi tersebut, KOMPARSI mengambil peran sebagai berikut:
  1. Memfasilitasi penyadaran dan pengorganisasian rakyat dibidang hak-hak warganegara dan pelayanan publik.
  2. Memfasilitasi penguatan kapasitas rakyat dalam proses pengambilan dan pengawasan kebijakan publik.
  3. Mendorong inisiatif rakyat untuk membongkar kasus-kasus korupsi yang terjadi dan melaporkan pelakunya kepada penegak hukum serta ke masyarakat luas untuk diadili dan mendapatkan sanksi sosial.
  4. Memfasilitasi peningkatan kapasitas rakyat dalam penyelidikan dan pengawasan korupsi.
  5. Menggalang kampanye publik guna mendesakkan reformasi hukum, politik dan birokrasi yang kondusif bagi pemberantasan korupsi.
  6. Memfasilitasi penguatan good governance di masyarakat sipil dan penegakan standar etika di kalangan profesi.
Berpihak kepada masyarakat yang miskin secara ekonomi, politik dan budaya. Nilai :
1.       Keadilan sosial dan kesetaraan jender :

Setiap laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk berperan aktif dalam pemberantasan korupsi, memiliki hak dan peluang yang sama di dalam lembaga maupun dalam kaitannya dengan kesempatan yang sama untuk mengakses dan mengontrol sumber daya lembaga.

2. Demokratis:

   Setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam setiap pengambilan keputusan, perilaku       dan pikiran, wajib menjunjung nilai demokrasi.

3. Kejujuran.

Setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan wajib membeberkan setiap kepentingan pribadi yang berhubungan dengan kewajibannya serta mengambil langkah-langkah untuk mengatasi benturan kepentingannya yang mungkin timbul.


Prinsip KOMPARSI :

1. Integritas
  • Setiap individu tidak pernah melakukan kejahatan pidana, politik, ekonomi dan hak asasi manusia.
  • Setiap individu tidak pernah membela atau melindungi koruptor.
  • Setiap individu tidak boleh menempatkan dirinya di bawah kepentingan finansial atau kewajiban lainnya dari pihak luar, baik individu maupun organisasi yang dapat mempengaruhinya dalam menjalankan tugas-tugas dan misi KOMPARSI
2.Akuntabilitas.

Setiap individu harus bertanggungjawab atas keputusan dan tindakan-tindakannya kepada rakyat dan harus tunduk pada pemeriksaan publik terhadap seluruh aktivitas di KOMPARSI


3. Independen.
  • Setiap individu tidak menjadi anggota ataupun pengurus salah satu partai politik.
  • Setiap individu bertindak objektif dalam menghadapi pejabat negara ataupun kelompok kepentingan tertentu.
  • Setiap individu tidak boleh membuat keputusan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan finansial atau materi bagi dirinya sendiri, keluarga dan sahabat-sahabatnya.

4. Obyektivitas dan kerahasiaan.
  • Setiap individu dalam mengambil keputusan dan tindakan harus semata-mata berdasarkan pertimbangan kebenaran dan keadilan.
  • Setiap individu wajib merahasiakan para identitas saksi dan pelapor kasus korupsi yang melaporkan kasus korupsi ke KOMPARSI.
5.Anti-Diskriminasi.KOMPARSI

Dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi, hak dan kewajiban di lembaga, setiap individu tidak melakukan diskriminasi baik berdasarkan agama, ras atau golongan.